Kamis, 21 April 2011

SAYA BUKAN KARTINI


Pagi ini tidak seperti biasanya, saya bangun pagi sekali mungkin karena ini bukan rumah saya, tetapi rumah embah saya, saya keluar lewat pintu belakang, entah kenapa saya memilih belakang, tak usah ditanyakan karena memang tidak penting, tiba-tiba terlihat wanita tua kira-kira berumur 70 an tahun sedang membersihkan halaman, saya mendekatinya diam-diam sambil merangkak menirukan gaya babi ngepet sedang bertugas, setelah sudah sangat dekat, saya kembali menjadi manusia kembali, sayapun menegurnya,  
saya translet bahasanya karena kami menggunakan bahasa ngapak.
Dan namanya saya samarkan, sebut saja mawar. 
Saya : assalamu’alaikum  (dengan gaya manusia saya memberikan salam)
Mawar : walaikum salam, wiso dateng kapan.?
Saya : kemaren war.
Mawar : ibunya mana ?
Saya : di Sokaraja.
Mawar : jadi sendirian kesini?
Saya : iya dong.

Kira-kira obrolan biasa ini berlangsung 5 menitan.

Kemudian  tanpa dia sadari, saya bertanya tentang kartini,

Saya : war, tahu tentang kartini ga?
Mawar : siapa? Kartini siapa?
Saya : itu lho pejuang emansipasi wanita kata lainya persamaan hak?
Mawar : apaan sih enggak ngerti.
Saya :...........

Oke pembicaraan sampai segitu aja, lalu saya melanjutkan jalan-jalan pagi sambil merenung dan berpikir, di kampung halaman saya memang tidak begitu penting untuk mengetahui tentang emansipasi, persamaan gender, atau masalah feminisme. Mereka hidup tidak terlalu dibuat susah, selagi mereka masih kuat bekerja, mereka akan bekerja. Si mawar itu pekerjaanya hanya sebatas memunguti mie sohun atau bihun yang jatuh di tanah. Di dekat desa kami memang ada sebuah pabrik bihun/sohun dan kebanyakan wanita disini bekerja disana, karena si mawar sudah terlalu tua jadi dia tidak diterima di pabrik itu, hanya saja dia memunguti bihun yang jatuh sewaktu proses penjemuran.

Saya kemudian berpikir, Mimpi kartini sepertinya tidak berjalan mulus, wanita yang bisa dan sudah mengetahui dirinya atau memahami cita-citanya hanyalah wanita yang sudah berilmu saja,lalu  walaupun sudah tahu tentang kartini, apakah mungkin bisa menyamakan haknya dengan laki-laki. Banyak saya lihat berita tentang TKW disiksa, kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan-pelecehan kepada wanita, sepertinya wanita tidak bisa betul-betul keluar dari kodaratnya yaitu melayani laki-laki, yap.......... sebatas melayani laki-laki tidak lebih dan tidak kurang.
 Hahaha... itu hanya lah pikiran pragmatis saya saja yang mengambil kesimpulan secara sepihak.

Dalam perjalanan pulang, saya melihat anak sekolah SD yang lewat, mereka begitu semangat terlihat dari langkah kaki kecil mereka yang sedikit berlari dan tiba-tiba saya tersenyum dan terucap “sepertinya cita-cita kartini berhasil dari sekumpulan anak sekolah SD yang saya lihat semuanya adalah perempuan.......! dimana laki-lakinya? mungkin membolos? Mungkin malas?” seperti masa kecil saya dulu, ketika susah sekali bila berangkat sekolah, sampai-sampai di beri toyoran oleh ayah saya.

Saya berpikir lagi, hasilnya,
Wanita rajin
Pria malas
Wanita sunah bekerja
Pria wajib bekerja

Ketika pulang saya bertemu mawar lagi, dan dia bilang kepada saya, saya bukan kartini walaupun saya ingin menjadi kartini, keadaan yang membuat jiwa kartini saya tidak timbul.
Saya kaget, dengan ucapanya, bagaimana mungkin wanita yang tidak lulus SD ini bisa bebicara seperti itu, tiba-tiba dia menjelaskan bahwa dia telah diberitahu masalah kartini oleh anggrek (bukan nama sebenarnya) dia adalah tetangga perempuan saya yang mempunyai jiwa Kartini sebenarnya, mengingatkan saya ketika anggrek menangis karena ingin melanjutkan sekolahnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar