Berbicara tentang
golput pasti erat kaitannya dengan Pemilu atau Pemilihan Umum. Berhubung bentar
lagi mau pemilihan presiden 2014, dan juga beberapa hari yang lalu gue sudah
merasakan langsung atmosfir khas dari pesta demokrasi untuk memilih calon
pemimpin daerah gue. Bukan hanya satu pesta namun ada dua pesta sekaligus yang
berlangsung. Selain mencari pemimpin Banyumas, pemimpin Jawa Tengah pun mesti
dicari, dengan menghabiskan dana yang setara dengan memberi makan jutaan rakyat
miskin di Jawa Tengah. Dengan didorong keinginan luhur, gue pun nyoblos. Dalam
pencoblosan gubernur kemarin sebenernya udah ketebak siapa yang bakal menang.
Kecuali milihnya pake poling sms, engga bakal ketebak. Kecuali salah satu
kandidat ada yang make jilbab. Lu kate
fatin.
Sebelum mencoblos gue
sebagai teman yang rada kepo pun, mau tau apa si yang dipilih temen-temen gue. Gue
pun bertanya sama temen gue yang pertama sebut aja si A.
“bro, elu mau nyoblos siapa?”
“ah gue golput bro,
kaga ada duitnya si”
Nah, temen gue ini milih
golput dengan alasan engga dikasih duit, dasar jablay. Emang si kebanyakan
rakyat kita sudah dicekoki dengan politik uang, seakan itu menjadi sebuah
budaya yang mengakar kuat. Sehingga mindset
yang terbentuk adalah ajang kampanye merupakan ladang uang. Dan bila tidak ada
uang mereka tidak akan nyoblos. Seperti sebuah syair lagu “ada uang abang nyoblos, engga ada uang libur nyoblosnya” dasar
jablay.
Gue lalu tanya sama
temen kedua gue, namanya si B.
“bro, elu mau nyoblos
siapa?”
“ah gue golput, calon
pemimpin sekarang engga ada yang bersih, korupsi semua, janji doang pas
kampanye, pas udah jadi malah lupa, trus ngeruk uang sebanyak-banyaknya buat
balik modal”
Hmm.. Temen gue yang
satu ini emang rada kritis, engga percuma gue temenan 6 semester. Apa yang
dikatakan si B, mungkin tergolong pemilih golput yang sudah melek politik. Dimana
sikap golputnya merupakan bentuk protes mengenai sebuah sistem demokrasi dan
muncul karena merasa percuma memberikan hak suara kepada para calon koruptor.
Nanya lagi gue sama
temen, sebut aja si C.
“bro, elu mau nyoblos
siapa?”
“gue mah siapa aja,
yang penting bisa nerima gue apa adanya”
Belakangan gue ketahui
si C ini lagi galau karena kelamaan ngejomblo, kasian ya. Orang yang kaya gini
ga mungkin bisa kalo di ajak diskusi calon pemimpin yang tepat. kayanya nunggu sampe
sm*sh ngecover lagunya slipknot juga percuma. Orang yang kaya gini elu sewain
pacar aja. Yang sachetan juga dia mau.
Back
to topic
Golput haram ga si?
Buset, gue engga bisa
nentuin haram apa engga, yang punya legitimasi mah si bapak-bapak alim yang
rakus duit berlabel MUI. Satu hal aja dari gue, yang pasti golput haram, ketika
elu lebih milih nyoblos pacar daripada nyoblos pemimpin.
Dalam sebuah wawasan
negara demokrasi, tidak berpengaruh sukses tidaknya pemilu tersebut dengan
tingginya angka golput. Di negara yang sistem demokrasinya berjalan normal,
sudah biasa kalau pemilu ‘hanya’ diikuti +/- 60% konstituen pemilih bahkan
kurang dari itu. Sebagai misal, Di Amerika sana yang bisa dibilang nenek
moyangnya demokrasi juga masih tinggi angka golputnya., berdasarkan data yang
dilansir Federal Election Commission (FEC), angka partisipasi dalam pemilu
Presiden 2004 hanya mencapai 55,3%. Sementara pemilu legislatif 2006 hanya
berhasil menyedot 36,5% suara pemilih. Ini berarti angka ‘golput’ di Amerika
berkisar 45-64%. (vide: Akhol Firdaus, Surabaya Post, 27 Maret 2009).
Sebenernya golput itu
juga sebuah pilihan lho. Pilihan seseorang buat tidak memilih/menggunakan hak
suaranya. Dari pengetahuan yang gue miliki, dalam pemilu setiap warga negara
yang udah memenuhi syarat, sudah pasti punya hak pilih, nah hak pilih ya, bukan
kewajiban pilih. Jadi tidak ada halangan untuk tidak menggunakan haknya. Golput
juga merupakan sebuah proses politik lho. Fenomena golput sendiri sudah terjadi
zaman pemilu 1955. Jadi bisa dibilang setiap pemilu pasti terjadi golput, hanya
intesitasnya yang berbeda. Kalo boleh flashback
sedikit ke zamannya orang yang sadis, yaitu Soeharto. Golput pada zamannya bisa
dikatakan sedikit. Namun Pemilu di gelar dengan penuh intrik dan ketidakjujuran,
“semua harus memilih GOLKAR, Demiii Tuuuhhhhaaannn.....!!!” begitu jargonnya. Namun
ada sebagian orang yang idealis dan pemikir hebat tidak mau memilih dan
akhirnya golput, jadi pada zamannya Soeharto kalo elu golput itu tandanya elu
orang yang kritis dan pinter. Keren yak.
Waktu itu pernah ngobrol
unyu sama seorang rakyat, sebut saja mbok Sarijem, punya niat memilih seorang
karyawan yang akan melayaninya dalam 5 tahun kedepan. Dia memilih karyawannya
sendiri. Karena memang para pemimpin dalam perspektif demokrasi merupakan
pelayan bagi masyarakat. Pemikiran mbok Sarijem tentu sangat emosional terhadap
negeri ini, dia memilih karyawan yang bisa mengelola negeri ini untuk
kesejahteraan dirinya. Kalau sampai mbok Sarijem kelaparan tentu saja dia punya
hak untuk memarahi dan memecat karyawannya itu tak ketinggalan juga
goblog-goblogin si karyawan. Untuk mbok Sarijem-Sarijem yang lain kalau anda
golput, anda tidak punya hak untuk memarahi si karyawan. Apalagi goblog-goblogin
karyawan. Kalo ada orang yang engga nyoblos tapi ikut-ikutan protes tentang
kebijakan, sama aja kaya gebukin maling rame-rame sampe sekarat padahal
korbanya udah bilang “udah cukup berhenti, Cuma jepitan rambut saya kok yang
dicolong”. Inget kata-kata gue tadi, kita mau engga mau terkena dampak dari
kebijakan para pemimpin kita. Jadi pilihlah pemimpin yang benar dan tepat. Akhir
kata udah coblos aja dulu masalah di PHP-in mah belakangan. Salam !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar